Tidak patut bagi seorang muslim untuk meremehkan urusan utang atau
mengecilkan perkaranya atau lalai dalam melunasinya. Banyak dalil-dalil
dalam hadits yang menunjukan bahaya hal itu. Bahwa mayit tertahan oleh
utangnya hingga dilunasi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin al-Athwal radhiyallahu ‘anhu
dia berkata, “Saudaraku wafat dan meninggalkan 300 dinar. Beliau
meninggalkan pula anak kecil. Maka aku ingin menginfakkan hartanya
kepada anak kecil tersebut. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam bersabda kepadaku, ‘Sungguh saudaramu tertahan oleh utangnya.
Pergi dan lunasi utangnya.’” Beliau berkata, “Aku pergi dan melunasi
utangnya. Kemudian aku datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah
melunasi utangnya kecuali seorang perempuan mengklaim memiliki piutang
atasnya sebanyak 2 dinar, namun dia tidak punya bukti.’ Beliau bersabda,
‘Berilah dia karena dia seorang yang jujur.’” [Musnad Ahmad 4/136, dan
dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no 1550]
Beliau meriwayatkan pula dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
نَفْسُ المُؤمِنِ مُعَلَّقَةٌ مَا كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ
“Jiwa seorang muslim tergantung selama ada utangnya.” [Musnad Ahmad 2/440, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no 1811]
Oleh karena itu
wajib atas muslim jika
memiliki utang hendaknya bersegera melunasinya sebelum dia dijemput
kematian, agar jiwanya tidak ditahan dengan sebab utangnya serta
tergadai dengannya. Apabila seseorang tidak memiliki utang maka
hendaklah memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas afiat yang
didapatkannya. Lalu menjauhkan diri dari berutang selama tidak ada
kebutuhan yang mengharuskan atau kondisi darurat yang memaksa. Hendaknya
seseorang menyelamatkan diri dari kerisauan utang, mengistirahatkan
dirinya dari akibatnya dan mengamankan diri dari dampak negatifnya.
Dalam al-Musnad dari hadits Uqbah bin Amir, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Jangan
kamu menakuti diri-diri kamu sesudah keamanannya.” Mereka berkata,
“Apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Utang.” [Musnad Ahmad 4/146, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no 2420]
Yakni, jangan terburu-buru kepada utang, sehingga kamu menakuti diri
kamu dari konsekuensi dan akibatnya. Kita mohon kepada Allah afiat,
keselamatan dan petunjuk kepada semua kebaikan.
Apa yang Diucapkan Orang yang Memiliki Hutang
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang budak mukatab (budak yang membuat
perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya secara berangsur-angsur)
datang kepadanya dan berkata, “Sungguh aku sudah tidak mampu menunaikan
tebusan diriku, maka bantulah aku.” Beliau berkata, “Maukah aku ajarkan
kepadamu kalimat-kalimat yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salam kepadaku, sekiranya engkau memiliki utang seperti gunung
Tsabir, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melunasinya untukmu.”
Beliau melanjutkan,
قُل: اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Katakan, Allahummak finii bihalaalika ‘an haraamika wa aghninii
bifadhlika ‘amman siwaak (Ya Allah, cukupilah aku dengan yang halal-Mu
daripada yang haram-Mu, dan jadikanlah aku tidak butuh dengan sebab
karunia-Mu dari siapa pun selain-Mu).” [Sunan at-Tirmidzi no 3563, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no 1820]