HYPERTEXT
Istilah hypertext pertama kali
dikemukakan oleh Ted Nelson pada tahun 1960-an (Carter, 1997; Jonassen,
1991 dalam Altun, 2000) sebagai suatu bentuk teks elektornik. Ia
menjelaskan, hypertext adalah teks-teks tertulis non- sekuensial yang
memiliki percabangan dan menyediakan pembaca berbagai pilihan, sebagai bacaan yang menarik pada layar interaktif. Dalam hypertext ini berbagai potongan (chunk) teks dihubungkan secara seri oleh links sehingga pembaca dapat menyusuri berbagai lintasan yang diinginkannya.
Potongan- potongan teks ini disebut dengan nodes (simpul) (Miall,
1997). Berbeda dengan buku teks, hypertext dapat disajikan dengan
menggabungkannya dengan berbagai media lain seperti vidio- klip,
animasi, suara, gambar dan grafik. Karena sifatnya inilah kadang kala
hypertext juga disebut hipermedia atau multimedia, walau- pun beberapa
ahli mem- bedakannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa karakteristik
dari hypertext adalah bersifat non-sekuensial (non- linier), ditampilkan
dalam media elektronik, bisa digabungkan dengan berbagai media (multi-
media), dan interaktif terhadap pembaca.
Pertanyaannya
sekarang adalah apakah semua sistem hypertext dapat memberikan dampak
positif terhadap proses pembelajaran? Spiro (1994) menjelaskan bahwa
sistem hypertext bisa dibuat dengan berbagai cara, namun cukup alasan
untuk meyakini bahwa sebahagain besar caar-cara tersebut tidak akan
membuahkan hasil belajar yang baik. Ini disebabakan hypertext tersebut
dapat saja membuat mahasiswa menjadi bingung. Mahasiswa akan tersesat dan “hilang” dalam link
yang cabang- nya begitu banyak. Disamping itu karena tidak ada yang
akan menghalangi pembaca dalam menautkan dua simpul informasi dan
melanjutkannya dengan simpul-simpul lain, maka ada kemungkinan navi-
gasi akan berakhir dengan sekumpulan informasi yang inkoheren (Briggs,
1992). Ini teru- tama terjadi pada hiper- teks besar, yang masih
diperumit oleh hubungan nya dengan hipermedia lain. Misalnya, navigasi
bisa berawal dengan dilatasi-waktu kemudian ke entropi dan/atau
diteruskan ke Time- Tunnel. Mahasiswa menda- patkan banyak
informasi, namun bukan pengeta- huan karena struktur dalam informasi
terabaikan akibat navigasi yang kurang terarah.Oleh karena itu yang
dibutuh- kan adalah sitem hypertext yang mudah ter jangkau (accessible).
Menyajikan materi-subjek dalam berbagai links
dan pilihan memberikan fleksibilitas kepada pembaca untuk menyusun
ulang materi sesuai dengan yang diinginkannya. Pada hypertext mahasiswa
bukan hanya sebagai pembaca akan tetapi sekaligus kreator bahan
bacaannya. Pembacalah yang akan menentukan urutan dari teks, yang
berarti sekaligus menentukan konteks dari bacaannya. Memang benar bahwa
materi-subjek yang akan dihadapi mahasiswa sudah tersedia dalam sistem
yang ada akan tetapi karena ia begitu luas dan banyak pilihan, maka
terbuka peluang-peluang kombinasi dalam menentukan urutan teks. Jika
pada kuku teks, mahasiswa tinggal membaca teks yang sudah disusun oleh
pengarang, namun pada hypertext mahasiswa sekaligus “pengarang” terhadap
teks bacaannya. Sesungguhnya, ditinjau dari bagaimana mahasiswa belajar
(walaupun sistem hypertext harus dibuat agar tidak membingungkan
pembaca), mahasiswalah yang bertanggung jawab terhadap teks bacaannya.
Analoginya
adalah, teks-teks pada hypertext adalah bata bahan dasar bangunan,
sistem hypertext adalah semennya, dan urutan sekuensial yang dibuat
siswa adalah bangunnya. Orang yang bertanggung jawab terhadap bangunan
adalah yang membuatnya, dalam hal ini adalah mahasiswa. Pabrik bata dan
semen hanya bertanggung jawab terhadap barang-barang yang diproduksinya,
bukan bangunan yang terbentuk.
Apa
sebenarnya arti itu semua? Hypertext bisa digunakan sebagai salah satu
sarana yang memberi kesempatan kepada pembelajar untuk “membangun”
pengetahuannya sendiri. Selama berintraksi dengan hypertext pembelajar
terus berlatih menghubung-hubungkan konsep yang relevan.Mahasiswa
dilatih mempergunakan kognisinya untuk mengorganisasikan
informasi-informasi menurut kebutuhannya sebelum digunakan atau
diterapkan pada tugas yang dihadapi menurut konteksnya. Hal seperti ini
hampir tidak bisa ditemukan pada teks sekuensial seperti pada buku-buku
teks.Disamping itu karena dalam hipertkes pembaca senadiri yang
menentukan penavigasian terhadap konten sesuai dengan pemahamannya, maka
sebenarnya dalam melaksanakan tugasnya pembaca sekaligus menjadi
“penyususn” dokumen yang akan dibaca saat membacanya.
Menurut
Spiro (1994), kondisi seperti ini dapat mengembangkan intelegensi
pembaca melebihi ketika berhadapan dengan teks-sekuensial biasa. Lebih
jauh, dari segi pengajaran, lingkungan belajar hypertext dapat dikelola
untuk menye- diakan pengajaran yang mampu mengembangkan cognitive flexibility.
Hypertext menyediakan ruang fleksibilitas kepada pembaca ketim- bang
buku-buku teks (Foltz, 1996). Altun (2000) mengemukakan pada saat
membaca teks pada layar sambil menyusuri link yang ada, pembaca
melakukan ak- tifitas kognisi yang kom- pleks dengan melibatkan
berbagai stategi yang mungkin. Jika proses seperti ini secara terus
menerus dilakukan tentu saja dapat meningkatkan dan memapankan kemampuan
cognitive fleksibility pembelajar yang merupakan kondisi yang
dituntut untuk penguasaan pengetahaun lanjut (Siregar, 2002). Mahasiswa
akan mengem- bangkan pola-pola terte- ntu dalam pikirannya yang bisa
menuntunnya dalam mengambil kepu- tusan dalam kerumitan persoalan yang
dihadapi.
Instruksi
dengan hypertext juga membiasakan mahasiswa melihat keluesan
mater-subjek. Dengan menghubungkan materi kepada berbagai media dan
menampilkannya dalam berbagai bentuk representasi akan memperkaya
persepsi mahasiswa terhadap materi tersebut. Pernyataan seperti ini
tidaklah sulit diterima karena semakin sering brinteraksi dengan suatu
objek dalam berbagai situasi yang berbeda maka akan semakin lengkap
atribut skema kita tentang objek tersebut, sehingga akan semakin mampu
kita melihat ke-fleksibel-an dari objek atau materi-subjek tersebut. Hal
seperti ini perlu untuk tujuan pembelajaran lanjut dimana mahasiswa
dituntut sercara luas menerpakan pengetahuannya pada situasi yang
berbeda. Spiro (1994) mengemukakan bahwa pengetahuan yang akan
dipergunakan dalam berbagai kasus harus diorganisasikan, diajarkan dan
direpresentasikan dalam bebagai bentuk. Lebih jauh ia mengatakan,
penyebab utama kegagalan pembelajaran lanjut adalah adanya
oversimplifikasi, dan salah satu bentuk oversimplifiksi yang menonjol
adalah melihat suatu konsep atau fenomena ataupun kasus dari satu sudut
pandang saja. Ini jelas akan memiskinkan pemahaman terhadap konsep dan
menyebabkan konsep tersebut hanya terterapkan pada situasi yang
terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar