Rabu, 06 Maret 2013

Keutamaan Takbir Serta Memahami Makna Kebesaran dan Keagungan Allah

Keutamaan takbir

Kedudukan Takbir dalam Agama

Sesungguhnya takbir itu masalah penting dan pahalanya sangat besar di sisi Allah. Terdapat banyak nash yang mendorong, menganjurkan dan menyebut-nyebut pahalanya.
Allah berfirman,
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS al-Isra: 111)
Allah berfirman tentang puasa,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah: 185)
Allah berfirman tentang haji dan ibadah-ibadah di dalamnya yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Hajj: 37)
Allah juga berfirman,
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (QS al-Mudatstsir: 1-3)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mencoba menerangkan tentang keutamaan takbir, “Takbir dikumandangkan saat adzan, saat-saat hari raya dan acara-acara ritual lainnya. Takbir adalah salah satu kalimat terbaik selain al-Qur’an, yakni kalimat subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar, seperti yang telah disebutkan dalam sebuah riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Tidak ada satu pun atsar yang mengganti kalimat Allahu Akbar dengan kalimat Allahu A’zham, kendatipun artinya identik. Karena itulah sebagian besar ulama ahli fiqih menetapkan bahwa shalat tidak sah kalau yang dibaca adalah kalimat Allahu A’zham, bukan Allahu Akbar. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam,
”Kunci shalat adalah bersuci, permulaannya adalah takbir dan penutupnya adalah salam.” Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Yusuf, Imam Abu Daud dan yang lain. Jadi kalau orang membaca selain itu, seperti kalimat dzikir subhanallah atau walhamdulillah, maka shalatnya tidak sah.
Takbir selalu menyertai seorang muslim dalam banyak ibadah dan berbagai bentuk ketaatan. Seorang muslim akan bertakbir membesarkan Allah ketika ia telah berhasil menyempurnakan hitungan puasa Ramadhan. Ia pun bertakbir membesarkan Allah dalam ibadah haji, seperti yang telah diisyaratkan oleh dalil al-Qur’an dalam pembicaraan sebelumnya. Di dalam shalat, takbir adalah sangat penting dan punya kedudukan cukup tinggi. Ketika menyerukan shalat, dianjurkan membaca takbir. Ketika iqamat harus membaca takbir. Dan ketika memulainya juga harus membaca takbir. Bahkan takbiratul ihram merupakan salah satu rukun shalat. Ia terus meyertai seorang muslim dalam setiap gerakannya, gerakan naik dan gerakan turun.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ketika berdiri hendak shalat beliau bertakbir hingga berdiri, kemudian beliau bertakbir ketika akan ruku’, kemudian membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari ruku’, kemudian membaca rabbanaa lakal hamdu, kemudian beliau bertakbir ketika akan turun, kemudian bertakbir lagi ketika mengangkat kepala, kemudian bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir lagi ketika mengangkat kepala. Begitulah yang ia lakukan dalam setiap shalat sampai selesai, dan bertakbir lagi ketika bangkit raka’at kedua setelah duduk tasyahhud.” [Shahih al-Bukhari no 789, Shahih Muslim no 392]
Dengan demikian takbir itu terus terulang beberapa kali bersama seorang muslim dalam shalatnya. Dalam shalat fardhu yang empat raka’at terdapat dua puluh dua kali takbir. Dalam shalat fardhu yang dua raka’at terdapat sebelas kali takbir. Dan setiap raka’at ada lima kali takbir. Jadi selama sehari semalam dalam shalat fardhu lima waktu saja seorang muslim bertakbir mengagungkan Allah sebanyak 94 kali takbir. Itu belum termasuk takbir yang dibaca dalam shalat sunnat rawatib dan shalat-shalat sunnat yang lain. Belum lagi takbir yang dibaca setiap selesai shalat fardhu sebanyak 33 kali. Jadi total keseluruhannya selama sehari semalam seorang membaca takbir sebanyak 342 kali. Ini jelas merupakan keutamaan takbir yang oleh Allah dijadikan sebagai bagian yang menonjol dan penting dari shalat. Jumlah sebanyak itu belum memasukan takbir yang dibacanya dalam adzan dan dalam iqamah yang sehari semalam saja sebanyak 50 kali, ditambah ketika menjawabi muadzin. Tentunya jumlahnya akan bertambah banyak lagi.
Tetapi kalau seorang muslim dalam bertakbir tidak terikat oleh waktu, maka selama sehari semalam ia bisa membacanya dalam jumlah yang tak terhitung. Hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Menafsiri firman Allah dalam surat al-Isra ayat 111 berbunyi “Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya” Ibnu Jarir rahimahullahu mengatakan, “Allah berfirman, ‘Muhammad, agungkanlah Tuhanmu dengan ucapan atau perbuatan yang Aku perintahkan kamu untuk mengagungkan-Nya. Taatlah kepada-Nya terhadap apa yang Dia perintahkan dan Dia larang.” [Jami’ al-Bayan IX/179]
Sementara Syaikh Muhammad Amin asy-Syanqithi rahimahullahu dalam menafsiri ayat tersebut mengatakan, “Agungkanlah Allah dengan seagung-agungnya. Perlihatkan pengagunganmu kepada-Nya itu dengan cara selalu mentaati perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan bergegas melakukan setiap amal yang diridhai-Nya.”[Adhwa al-Bayan III/635]
Ini mengandung isyarat bahwa seluruh ajaran agama itu dianggap sebagai uraian atau penjabaran kalimat Allahu Akbar. Seorang muslim yang melakukan semua bentuk ketaatan dan ibadah, pada hakikatnya ia mengagungkan Allah dan memenuhi hak serta kewajibannya.

Memahami Kebesaran dan Keagungan Allah

Takbir berarti mengagungkan Allah Ta’ala dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih agung dari Dia. Sehingga setiap yang agung selain Dia tetap kecil. Semua kekuatan tunduk kepada-Nya. Dia sanggup memaksa apa saja, siapa saja dan kapan saja. Seluruh makhluk takluk dengan merendahkan diri terhadap keagungan, kebesaran, kesombongan, keluhuran dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Seluruh makhluk bersimpuh di hadapan-Nya dan di bawah keputusan-Nya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Yang dimaksud dengan takbir ialah menjadikan Allah di mata seorang hamba lebih besar daripada segala sesuatu, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kepada Adi bin Hatim, ‘Hai Adi, apa yang membuatmu keberatan? Kenapa kamu merasa keberatan mengucap laa ilaaha illallah? Kamu kan tahu bahwa memang tidak ada Tuhan (yang  berhak disembah) selain Allah? Hai Adi, apa yang membuatmu keberatan? Kenapa kamu merasa keberatan mengucap Allahu Akbar? Bukankah memang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari-Nya?’ Ini menyangkal pendapat orang yang mengartikan kalimat akbar sama dengan kalimat kabiir atau sangat besar.” [al-Fatawa V/239. Hadits Adi terdapat dalam al-Musnad IV/378, Sunan at-Tirmidzi no 2935, Shahih Ibnu Hibban no 7206]
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya ia berkata, “Antara langit dunia dan langit berikutnya jaraknya 
Memahami kebesaran dan keagungan Allah. Image courtesy of earthobservatory.nasa.gov
Bumi yang berukuran diameter 12.756 km dilihat dari ketinggian 35.000 km. Gambar dari earthobservatory.nasa.gov
adalah perjalanan yang ditempuh selama 500 tahun, antara masing-masing langit juga 500 tahun, antara langit lapis tujuh sampai tahta Kursi juga 500 tahun, antara tahta Kursi sampai air juga 500 tahun, dan ‘Arsy itu berada di atas air. Allah di atas ‘Arsy. Dia bisa melihat semua amal kalian.” [Diriwayatkan ad-Darimi dalam al-Radd Ala al-Jahmiyah hal 26-27, ath-Thabrani dalam al-Kabir IX/228, Abu Syaikh dalam al-‘Azhamah II/689, al-Baihaqi dalam al-Asma wa al-Shifat II/290, dll]
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tujuh langit yang ada dalam tahta Kursi adalah laksana tujuh keping uang dirham yang diletakan di atas sebuah perisai.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya III/10, dan dalam isnadnya terdapat nama Abdurrahman bin Zaid bin Aslam seorang perawi yang dhaif. Zaid adalah seorang tabi’in. Jadi hadits ini mursal]
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Tahta Kursi dibanding ‘Arsy itu laksana sebuah lingkaran besi yang dilempar di tengah-tengah tanah lapang yang sangat luas.” [Diriwayatkan Abu Na’im dalam al-Hilyah I/166, Abu Syaikh dalam al-‘Azhamah II/648-649, al-, al-Baihaqi dalam al-Asma wa al-Shifat II/300-301, dll. Dinilai shahih dengan
Memahami kebesaran dan keagungan Allah. Image courtesy of imagine.gsfc.nasa.gov
Perbandingan matahari, brown dwarf, planet Jupiter dan bumi. Diamater matahari adalah 109 x bumi. Gambar dari imagine.gsfc.nasa.gov
semua jalan-jalannya oleh al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah no 109]
Mengenai Kursi, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat Kursi,
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (QS al-Baqarah: 255)
Kursi adalah salah satu makhluk Allah. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:
إنه موضع قدمي الله عز وجل
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” [Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Mukhtasar al-‘Uluw 40]
Sedangkan mengenai ‘Arsy bahwasanya ’Arsy merupakan makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar dan luas serta agung dan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan agar sesuai dan pantas sebagai tempat
Memahami kebesaran dan keagungan Allah. Image courtesy of www.universetoday.com
Posisi matahari dan tata surya di Galaksi Bima Sakti. Matahari berada di 26.000 tahun cahaya dari pusat Bima Sakti. Gambar dari http://www.universetoday.com
bersemayamnya Dia Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Quran dan as-Sunnah telah menunjukkan kebesaran dan keluasan ‘Arsy seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“Dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.” [QS at-Taubah: 129]
Berkata Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini: bermakna Dia lah pemilik dan pencipta segala sesuatu; karena Dia Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung yang merupakan atapnya para makhluk dan semua makhluk dari langit dan bumi dan yang ada pada keduanya dibawah ‘Arsy. [Tafsir Ibnu Katsir 2/404]
Dan dari hadits-hadits Nabi adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الله عَلَى عَرْشِهِ وَ إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَوَاتِهِ وَ أَرْضِهِ كَهَكَذَا وَ قَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ اْلقُبَّةِ
“Sesungguhnya Allah diatas ‘Arsy-Nya dan ‘Arsy-Nya di atas langit-langit dan bumi, seperti begini dan memberikan isyarat dengan jari-jemarinya seperti kubah.” [HR Ibnu Abi Ashim dalam
Memahami kebesaran dan keagungan Allah. Image courtesy of spore.wikia.com
Galaksi Andromeda tetangga Galaksi Bima Sakti yang berjarak 2,6 juta tahun cahaya dari bumi. Diperkirakan memiliki jumlah bintang sebanyak 10^12 atau 2 x lipat dari Bima Sakti. Gambar diambil dari spore.wikia.com
Assunnah 1/252]
Disini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan ‘Arsy seperti kubah atas alam ini yang terdiri dari langit-langit dan bumi serta isinya dan seperti atap untuk keduanya, disini sangat jelas menunjukkan keagungan, kebesaran dan keluasan ‘Arsy, bukan hanya lebih besar dari langit-langit dan bumi akan tetapi keluasannya tidak dapat dibayangkan oleh kita, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
يَاأَبَا ذَرٍّ مَا السَمَوَاتُ السَبْعُ فِيْ الكُرْسِي إِلاَ كَحَلَقَةِ مُلْقَاةٌ بِأَرْضِ فَلاَة وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الكُرْسِي كَفَضْل الفلاَةِ عَلَى الحَلَقَةِ
“Wahai Abu Dzar tidaklah langit yang tujuh dibanding Kursi kecuali seperti lingkaran (gelang) yang dilemparkan ke tanah lapang, dan besarnya ‘Arsy dibandingkan dengan Kursi seperti lebih besarnya tanah lapang dari lingkaran (gelang).”
Dan dalam riwayat yang lain,
مَا السَمَوَاتُ السَبْعُ وَالأَرْضُوْنَ السَبْعُ وَمَا بَيْنَهُنَّ وَمَا فَيْهِنَّ فِيْ الكُرْسِي إِلاَ كَحَلَقَةِ مُلْقَاةٌ بِأَرْضِ فَلاَة وَإِنَّ الكُرْسِي بِمَا فِيْهِ بِالنِسْبَةِ إلَىالْعَرْشِ عَلَى كتِلْكَ الحَلَقَةِ عَلَىتِلْكَ الفلاَةِ
“Tidak langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dan apa yang ada diantara dan di dalamnya dibandingkan dengan Kursi kecuali seperti lingkaran (gelang) yang dilempar ke tanah lapang, dan Kursi dengan apa yang ada didalamnya dibandingkan dengan ‘Arsy seperti lingkaran (gelang) tersebut pada tanah lapang tersebut.” [Berkata Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahadits al-Shahihah No.109, “dan kesimpulannya hadits ini dengan jalan-jalan periwayatan (yang ada) shohih.”]
Seharusnya seorang muslim mau merenungkan betapa besarnya langit dibanding bumi, betapa agungnya tahta Kursi dibanding langit dan betapa agungnya ‘Arsy dibanding tahta Kursi. Akal tidak akan sanggup menjangkau keberadaan dan tata cara semua itu yang hanya merupakan makhluk. Lalu bagaimana dengan keberadaan Tuhan yang menciptakan semua itu! Keagungan dan kebesaran sifat-sifat-Nya jelas terlampau agung untuk bisa ditembus oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Karena itu ada riwayat hadits yang melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah.” [Diriwayatkan al-Laka’i dalam Syarah al-I’tiqad III/525 dan Abu Syaikh dalam al-‘Azhamah II/210 dari hadits Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu. Isnadnya dhaif sekali. Tetapi ia diperkuat oleh hadits Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, Abu Dzar dan ibnu Abbas. Al-Albani menganggapnya sebagai hadits hasan dalam al-Silsilah al-Shahihah no 1788]
Berpikir yang diperintahkan di sini, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim rahimahullahu, adalah yang bisa menimbulkan dua pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga. [Miftah Dar al-Sa’adah hal 181] Hal itu menjadi jelas dengan contoh sebagai berikut. Apabila hati seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna oleh akal pikiran. Allah berfirman, “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.’” (QS al-Isra: 111)
***
Diringkas dari Fiqih Do’a & Dzikir Bab Keutamaan Takbir dan Bab Makna & Penjelasan Takbir karya Abdurrazak bin Abdul Muhsin al-Badr, Darul Falah 2001 dengan beberapa tambahan dari http://muslim.or.id/tafsir/faedah-dari-ayat-kursi.html dan http://almanhaj.or.id/content/3048/slash/0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar