Rabu, 06 Maret 2013

Meraih Berbagai Pahala dengan Sebuah Amalan: Sebuah Kaidah Fiqih


إِذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ اكْتَفَى عَنْهُمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ إِذَا كَانَ المَقْصُوْدُ وَاحِدًا
 
Apabila berkumpul dua ibadah yang satu jenis, maka dengan mengerjakan salah satunya sudah mencukupi untuk keduanya jika maksudnya sama.

Makna Kaidah

Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada beberapa jenis ibadah yang sama bentuk dan mempunyai satu tujuan yang sama, maka dengan mengerjakan salah satu perbuatan saja bisa mewakili amal perbuatan lainnya jika diniatkan untuk semuanya.
Al-Hafizh Ibnu Rajab mengungkapkan kaidah ini dalam Qawa’id beliau no 18 dengan lafazh:
إِذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لَيسَتْ إِحدَاهُمَا مَفْعُولَةً عَلَى جِهَةِ القَضَاء وَلَا عَلَى طَرِيقِ التَّبَعِيَّةِ لِلأُخْرَى فِى الوَقْتِ تَدَاخَلَتْ أَفعَالُهُمَا واكْتَفَىى فِيهِمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ
“Apabila ada dua ibadah yang satu jenis dan dikerjakan dalam satu waktu sedangkan salah satunya bukan dikerjakan untuk mengqadha juga bukan karena mengikuti ibadah lainnya yang satu waktu, maka dengan mengerjakan satu saja bisa mewakili lainnya.”
Berarti kesimpulannya bahwa yang bisa masuk dalam kaidah ini apabila memenuhi beberapa syarat:
  1. Keduanya satu jenis, misalkan sama-sama puasa atau shalat atau thawaf atau lainnya.
  2. Salah satunya bukan mengikuti yang lainnya. Oleh karena itu shalat qabliyah subuh tidak bisa digabungkan dengan shalat subuhnya karena shalat qabliyah mengikuti shalat wajibnya.
  3. Keduanya dikerjakan dalam satu waktu.
  4. Salah satunya bukan dikerjakan untuk mengqadha ibadah wajib yang pernah ditinggalkannya. Oleh karena itu tidak boleh menggabungkan niat puasa syawal dengan puasa qadha Ramadhan yang dia tinggalkan.
Ini adalah salah satu kaidah penting yang harus dipahami oleh seorang muslim, karena dengannya seseorang akan mendapatkan banyak pahala dengan satu amal perbuatan, sedangkan bagi yang tidak memahaminya maka dia hanya akan mendapatkan satu pahala. Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Ini adalah satu nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dan kemudahan-Nya, karena satu amal perbuatan bisa mewakili banyak amal.” (Lihat al-Qawa’id hal. 73)
Masalah ini secara umum masuk dalam keumuman hadits:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar bin Khathab berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah untuknya. (HR Bukhari 1, Muslim 1907)

Contoh Penerapan Kaidah

Di antara permasalahan yang masuk dalam kaidah ini adalah:
  1. Jika ada seseorang yang berwudhu lalu dia masuk ke dalam masjid setelah adzan zhuhur – misalnya – maka dia disyariatkan untuk melakukan tiga shalat, yaitu shalat sunnah wudhu, shalat tahiyyatul masjid dan shalat qabliyah zhuhur. Padahal tujuan, waktu, jenis dan cara melakukannya satu. Maka dalam kondisi demikian boleh bagi orang tersebut untuk melakukan shalat dua raka’at dengan tiga niat dan insya Allah dia akan mendapatkan pahala tiga shalat.
  2. Apabila seseorang mendapatkan beberapa hal yang membatalkan wudhu, misalnya dia kentut, lalu kencing lalu berak, maka cukup berwudhu sekali saja dan sudah mencukupi untuk semuanya.
  3. Demikian juga kalau ada beberapa sebab yang mengharuskan dia mandi besar, misalnya dia mimpi basah pada hari jum’at, lalu jimak dengan isterinya lalu akan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at, maka cukup bagi dia untuk mandi sekali dengan tiga niat menurut madzhab yang rajih di kalangan para ulama.
  4. Demikian juga jika seseorang mempunyai hadats besar dan hadats kecil, maka jika dia melakukan mandi saja, maka telah mencukupi untuk menghilangkan hadats besar maupun kecil. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mempunyai perincian yang bagus dalam masalah ini, beliau berkata, “Kaidah dalam masalah ini bahwa apabila berkumpul beberapa hadats yang satu jenis, maka mungkin dia meniatkan untuk menghilangkan semua hadats atau mungkin dia meniatkan menghilangkan sebagian hadats dan meniatkan tidak menghilangkan hadats lainnya, dan kemungkinan ketiga dia meniatkan menghilangkan sebagian hadats dan tidak mengingat sebagian hadats lainnya. Jika dia meniatkan untuk semuanya, maka semua hadatsnya hilang (dengan satu wudhu) semacam kalau dia makan daging unta, tidur, berak, kencing dan kentut. Maka kalau dia berwudhu sekali dengan meniatkan untuk semuanya, maka semua hadatsnya hilang. Juga jika dia berwudhu berniat untuk menghilangkan hadats kentut tanpa ingat hadats lainnya, maka yang shahih juga sudah mencukupi untuk semuanya. Namun jika dia berwudhu berniat menghilangkan hadats kentut saja dan berniat untuk tidak menghilangkan yang lainnya, maka madzhab Ahmad mengatakan bahwa wudhu ini hanya menghilangkan hadats kentut saja bukan lainnya, sedangkan dalam madzhab lainnya wudhu ini cukup untuk menghilangkan semua hadats. Dan yang shahih madzhab kedua.” (Lihat ta’liq beliau pada Qawa’id Ibnu Rajab hal. 107 dengan sedikit perubahan)
  5. Jika seseorang lupa beberapa kali dalam satu shalat, maka cukup baginya untuk sujud sahwi sekali saja.
  6. Jika ada seseorang yang mendengarkan dua ayat sajdah secara bersamaan, maka cukup baginya untuk sujud tilawah sekali saja.
  7. Dan masalah-masalah lainnya yang mirip bisa dikiaskan dengannya.
Wallahu a’lam.
***
Sumber:
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, penulis , Pustaka al-Furqon, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar