Rabu, 06 Maret 2013

Model-Model Para Pengghibah




Model-model para pengghibah
Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
“Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya.” [1]
Oleh karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [2]
Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya sangatlah besar…. penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama muslim)[4]
Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???
Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah…???
Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???
Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta’ala dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun… mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.

Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]
Berkata Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia.”[7]

Model-Model Para Pengghibah

Ibnu Taimiyah berkata -tatkala menjelaskan model-model para pengghibah-,
  1. Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya,  atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu. Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria.
  2. Diantara mereka (para tukang ghibah) ada yang berghibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu.” Dan terkadang ia berkata, “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita dan dia,” namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya.[26]
  3. Diantara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya’ dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya,” padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
  4. Diantara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
  5. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
  6. Diantaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian dan demikian…” Maka ia menampakkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.
  7. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..” Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya).  Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.
  8. Diantara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan.[8]

Hukum Mendengarkan Ghibah

Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya, ”Diamlah,” namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci ghibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’ (mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”.[9] Allah ta’ala berfirman,
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum yang dzolim.” (QS al-An’am: 68)
Benarlah perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ      كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ                       شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah.
Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya.” (QS al-Qhashas: 55)
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS al-Mu’minun: 3)
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah ghibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ  رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya.’” (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)
Dan demikinlah pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi mereka membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ  رضي الله عنه قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dari ‘Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata, ‘Di manakah Malik bin Addukhsyum?’, lalu ada seorang laki-laki menjawab, ‘Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya,’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah.’” (Bukhori dan Muslim)
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً  رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رضي الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
Ka’ab bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya, ‘Apa yang dilakukan Ka’ab ?’, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya.’ Lalu Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu berkata, ‘Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan,’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam.” (Bukhori dan Muslim)
***
[1] Hadits Shahih dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 534)
[2] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”
[3] Sebagaimana yang bisa kita saksikan bersama, jika ada sebuah majelis yang dibumbui dengan ghibah maka majelis tersebut terasa semarak dan asyik didengarkan oleh para hadirin, Wal’iyadzu billah
[4] Sebagaimana akan datang definisinya
[5] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarokfuuri dalam Tuhfatul Ahwadzi VI/54
[6] Al-Jawaabul Kaafii hal 111
[7] Ihyaa Ulumiddiin III/143
[8] Majmu’ fatawa XXVIII/236-238
[9] Bahjatun Nadzirin 3/29, 30
Ditulis, disusun ulang dan diringkas dari http://www.firanda.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar