
Nama beliau adalah Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni lahir
pada tahun 46 H di daerah Yamamah Nejed. Beliau termasuk generasi
tabi’in yaitu generasi yang bertemu dengan sahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam namun tidak sempat bertemu dengan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam.
Telah nampak bakat dan kecerdasan putera al-Muzanni yang satu ini
sejak kecil. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya
kendati beliau masih kanak-kanak.
Telah diriwayatkan bahwa ketika masih kecil beliau belajar ilmu hisab
di sebuah sekolah yang diajar oleh Yahudi ahli dzimmah (tunduk dan
berada di bawah jaminan penguasa Islam, tidak masuk Islam namun membayar
pajak). Pada suatu hari berkumpullah kawan-kawannya dari kalangan
Yahudi itu, lalu mereka asyik membicarakan masalah agama mereka tanpa
menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru Yahudi itu berkata kepada teman-teman Iyas, “Tidakkah kalian heran dengan kaum muslimin itu?
Mereka berkata bahwa mereka akan makan di surga, namun tidak akan buang air besar?”
Iyas menoleh kepadanya lalu berkata,
Iyas : “Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian perbincangkan itu wahai guru?”
Guru : “Silakan!”
Iyas : “Apakah semua yang dimakan di dunia ini keluar menjadi kotoran?”
Guru : “Tidak!”
Iyas : “Lantas kemana perginya yang tidak keluar itu?”
Guru : “Tersalurkan sebagai makanan jasmani.”
Iyas : “Lantas dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang
kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tak
mustahil di surga seluruhnya diserap tubuh dan menjadi makanan jasmani.”
Merasa kalah argumen, guru itu memberikan isyarat dengan tangannya
sambil berkata kepada Iyas, “Semoga Allah mematikanmu sebelum dewasa.”
Dalam kisah lain, pernah ada duhqan (seperti jabatan lurah di
kalangan Persi dahulu) yang datang ke majelisnya Iyas dan bertanya,
Duhqan : “Wahai Abu Wa’ilah, bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?”
Iyas : “Haram!”
Duhqan : Dari sisi mana dikatakan haram, sedangkan ia tak lebih dari
buah dan air yang diolah, sedangkan keduanya sama-sama halal?”
Iyas : “Apakah engkau sudah selesai bicara wahai Duhqan, ataukah masih ada yang hendak kau utarakan?”
Duhqan : “Sudah, silakan bicara!”
Iyas : “Seandainya kuambil air dan kusiramkan ke mukamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika kuambil segenggam pasir dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika aku mengambil segenggam semen dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Sekarang, jika kuambil pasir lalu kucampur dengan segenggam
semen, lalu kutuangkan air di atasnya dan kuaduk, lalu kujemur hingga
kering, lalu kupukulkan ke kepalamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Benar, bahkan bisa membunuhku.”
Iyas : “Begitulah halnya dengan khamr. Di saat kau kumpulkan
bagian-bagiannya lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka dia
menjadi haram.”
Terpilih Menjadi Qadhi
Karena keutamaan yang beliau miliki, beliau pernah dipercaya menjadi
qadhi di Bashrah pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Umar bin
Abdul Aziz awalnya memiliki dua pilihan calon yaitu Iyas dan al-Qasim
bin Rabi’ah al-Haritsi yang kedua-duanya bak kuda balap kembar dalam ilm
fiqih, tegas dan kukuh dalam kebenaran, cemerlang
pemikiran-pemikirannya dan tepat dalam pandangannya. Masing-masing
memiliki keunggulan tersendiri. Lantas beliau mengutus walinya di Irak
yang bernama Adi bin Arthah untuk memilih di antara keduanya.
Adi bin Arthas mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata,
“Amirul mukminin – semoga Allah memanjangkan umurnya – memintaku untuk
mengangkat salah satu dari kalian sebagai kepala pengadilan Bashrah.
Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Masing-masing mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama sambil menyebutkan keutamaan, ilmu dan kefakihannya.
Adi berkata, “Kalian tidak boleh keluar dari sini sebelum kalian memutuskannya.”
Iyas berkata, “Wahai Amir, anda bisa menanyakan tentang diriku dan
al-Qasim kepada dua fuqaha Irak ternama yaitu Hasan al-Bashri dan
Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan
antara kami berdua.”
Iyas mengatakan seperti itu karena al-Qasim adalah murid dari kedua
ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak punya hubungan apapun
dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab
kalau pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama itu, tentulah
mereka akan memilih dia dan bukan Iyas. Maka dia segera menoleh kepada
Adi dan berkata, “Wahai Amir, janganlah anda menanyakan perihalku kepada
siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia, Iyas lebih mengerti
tentang agama Allah daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim.
Bila aku bohong dalam sumpahku ini, maka tidak patut anda memilihku
karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya.
Bila aku jujur, anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah,
sedangkan di sini ada yang lebih utama.”
Iyas berpaling kepada amir dan berkata, “Wahai Amir, anda memanggil
orang untuk menjadi hakim. Ibaratnya anda letakkan ia di tepi jahanam,
lalu orang itu (al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya dengan sumpah
palsu yang dia bisa meminta ampun kepada Allah dengan beristighfar
kepada-Nya dan selamatlah ia dari apa yang ditakutinya.”
Maka Adi berkata kepada Iyas, “Orang yang berpandangan seperti dirimu inilah yang layak menjadi hakim.”
Lalu diangkatlah Iyas sebagai qadhi di Bashrah.
***
Rujukan:
Jejak Para Tabi’ien, DR. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka at-Tibyan.